Ada yang Masih Ingat Dengan Angkutan Umum Demo Dan Atax?
Di zaman dahulu, ada proyek mobil murah di Indonesia yang diprakarsai oleh Belanda. Mobil murah tersebut bernama Demo (bisa ditulis Demmo) dan Atax (kadang juga ditulis Atack atau Atak). Keduanya adalah proyek yang dimulai dari Surabaya yang kemudian berimbas cepat ke Malang.
Hadirnya Demo bagi masyarakat Indonesia dan Belanda ditengah terjangan mobil mahal seperti Ford, Chrysler, Dodge semua mobil itu sudah berupa built-up mobil yang banyak dinikmati oleh orang kaya Belanda dan pengusaha Tiongkok. Di sisi lain, Pemerintah Kolonial Belanda juga ingin para pekerja kebun yaitu warga Belanda atau juga warga Indonesia dari kalangan menengah juga punya kendaraan yang lebih cepat dibandingkan dengan andong, dokar dan delman, karena itulah mobil rakitan Demo tercipta.
Berdasarkan tulisan yang diungkap oleh Kuncarsono Prasetyo, Demo adalah gabungan mesin-mesin mobil dari Jerman yang kemudian digabung dengan karoseri khas Indonesia. Kalau dibandingkan sekarang, bentuknya mirip dengan sepeda motor yang diberi karoseri Tossa. Bedanya, Demo menggunakan mesin dua tak yang ditaruh di depan dengan tambahan pendingin.
Pada tahun 1930, Demo ini diresmikan dan secara cepat menyebar ke Malang. Di kota dingin ini, Demo langsung menjadi primadona karena melaju lebih cepat dibandingkan dengan dokar sebagai sesama angkutan umum. Demo di zaman masa kolonial di gunakan sebagai angkutan jarak dekat. Sementara untuk jarak jauh menggunakan bis atau kereta api.
Di Malang pula, eksistensi Demo menjadi alat angkut umum lebih besar ketimbang di daerah lain yang cenderung digunakan sebagai mobil pribadi. Karena angkutan sudah menggunakan oplet terutama di Batavia dan Surabaya.
Hampir serupa dengan Demo, di Malang juga ditemui kendaraan bernama Atax. Jika Demo menggunakan mesin mobil Jerman, Atax ini menggunakan mesin dari pabrikan Raleigh, Inggris. Atax dinilai lebih baik ketimbang Demo karena mesinnya berada di belakang di bawah troli dan menggunakan mesin empat tak yang lebih halus.
Adanya Demo dan Atax membuat pengusaha angkutan tradisional resah. Dikutip dari Jawa Pos, adanya Demo dan Atax yang dianggap angkutan modern berimplikasi pada pendapatan dari kusir dokar, delman atau andong. Sehingga pada tahun 1932 terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota Malang di masa Kolonial dengan kusir tentang pembagian wilayah kerja agar tidak saling bersinggungan sehingga kelangsungan hidup kusir andong, dokar dan delman tidak mati , kesepakatan ini tidak berlaku bagi pemilik Demo dan Atax milik pribadi.
Hadirnya penjajahan Jepang membuat eksistensi Demo perlahan menurun. Sulitnya impor mesin juga membuat Pabrik Demo, Soerabaiasche Demmo NV, akhirnya benar-benar tutup. Tentu saja hal ini membuat peredaran Demo menghilang.
Namun, Demo sudah kadung menjadi angkutan yang cukup tren di kalangan ibu-ibu. Sehingga pemilik Demo mengantisipasi dengan cara melakukan kanibal mesinnya dengan mesin lain. Salah satu mesin yang menjadi favorit untuk dikanibal adalah sepeda motorSachs ataupun Mascoo.
Di tahun akhir 60-an dan awal 70-an, mobil buatan pabrikan Daihatsu Jepang yaitu Bemo mulai menyerbu Malang. Tetapi kepraktisan Demo dan Atax tetap memiliki penggemar dan trayek khusus. Dulu Demo melayani rute Pasar Dinoyo ke Karang Ploso dan Pasar Dinoyo ke Pasar Besar. Sementara Atax yang punya mesin lebih besar melayani rute Pasar Besar-Gadang-Dampit. Terkadang mereka juga mangkal bersama Bemo di stasiun Malang Stoomtram Maatschappij untuk menyambut penumpang yang turun.
Di tahun 80-an, Demo dan Atax akhirnya punah seiring dengan semakin sulitnya suku cadangan. Sementara keberadaan Bemo yang berasal dari Jepang menyediakan mesin yang terjangkau. Ironisnya, tidak sampai 10 tahun Bemo juga harus menepi karena kalah bersaing dengan angkutan umum yang banyak menggunakan mobil Suzuki Carry.
(Dikutip darihttp://ngalam.co)