Sejak beberapa waktu lalu revitalisasi Alun-Alun Tugu Kota Malang dimulai. Di taman yang berada tepat di depan Balai Kota Malang itu ternyata terdapat peninggalan tiga batu jenis andesit dengan ukiran tulisan yang berbeda, dan memiliki nilai sejarah dari zaman Belanda.
Penanggung jawab proyek, Irfan, Kamis (6/7/2023) mengatakan jika ketiga batu tersebut sebelumnya memang telah diletakkan di permukaan tanah berdekatan dengan tempat duduk yang berada di Alun-Alun Tugu Kota Malang tersebut.
“Itu diletakkan pada tahun 2016, dari peninggalan Belanda. Saat proses revitalisasi Alun-alun Tugu ini, kita pindahkan sementara tetapi nanti akan kita kembalikan di posisi semula karena batu ini dianggap bersejarah,” terang Irfan.
Di tiga batu tersebut bertuliskan ‘Malang in Memory of’ kemudian ‘Oosterhuis Bapak Tonko’ dan ‘Johan Jan.’ Tentu dari ketiga tulisan di batu tersebut memiliki makna tersendiri. “Ini tetap kita amankan, karena saran dari sejarawan itu harus tetap dirawat,” lanjutnya.
Terpisah, pemerhati sejarah, Tjahjana Indra Kusuma, menyampaikan jika batu tersebut merupakan sebuah bangku kenangan yang dirancang ergonomis dan memiliki permukaan yang tidak menggenang saat hujan turun. Namun, lebih dari itu, batu tersebut memiliki makna yang lebih mendalam dalam sejarah Kota Malang.
“Batu ini melambangkan sumbu imajiner Kota Malang. Dari balkon tempatnya berada, kita bisa melihat deretan tugu yang mengarah ke Jalan Suropati. Seperti halnya di Yogyakarta dengan Keraton, Tugu, dan Merapi, di Kota Malang ada sumbu imajiner dari balkon Balai Kota Malang ini,” jelasnya.
Ditambahkan Indra, dua bangunan setinggi 12 meter yang dulunya menjadi bangunan militer dan bangunan pemerintahan, dirancang secara strategis mengikuti sumbu imajiner ini. Jadi, ketika seorang wali kota memandang ke arah sana, sebelum adanya tugu, ada air mancur.
Selain itu, menurutnya juga terdapat korelasi antara tiga batu tersebut dengan sejarah keluarga Tonko Oosterhuis, Yohan Oosterhuis, dan Yan Oosterhuis. Karena keluarga tersebut dianggap memiliki hubungan emosional yang kuat dengan Kota Malang.
“Salah satu anak mereka, Johan Oosterhuis, meninggal pada bulan Juni 1945 di Lapas Lowokwaru. Johan ditangkap oleh tentara Jepang karena dianggap sebagai mata-mata karena ia sering menggunakan senter pada malam hari ketika ada pesawat terbang,” urai Indra.
Terlebih, kata dia, keluarga Oosterhuis awalnya merupakan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang bertugas di berbagai tempat di Indonesia, seperti Kepulauan Alor Kalabahi, Waingapu, Cimahi, Surabaya, dan Samarinda.
“Tonko Oosterhuis sendiri sangat mencintai Hindia Belanda dan bertugas di Batalyon Infanteri 8 Gerampal di Malang. Namun, saat invasi Jepang terjadi pada tahun 1942, Tonko ditahan di Surabaya,” jelasnya.
Lebih lanjut Indra menceritakan bahwa istri Tonko dan anak-anaknya dikumpulkan di interniran di Jalan Welirang Straat 43. Istri Tonko berasal dari Timor Timur dan mereka menikah saat Tonko bertugas di Waingapu, Kalabahi. “Ada tanda kelahiran Kalabahi 1923 terukir di logamnya,” bebernya.
Karena itu, keluarga besar dari Tonko Oosterhius meminta izin kepada dinas terkait untuk memasang bangku tersebut di area publik pada bulan Februari 2016 lalu. “Itu semua juga terekam sejarahnya dalam media sosial arsitek pembuat ketiga batu tersebut,” pungkas Indra.