Prasasti Selabraja

Prasasti Selabraja

 Prasasti-Selobrojo4

 

Prasasti Selabraja (Foto: Gfp Suntoro)

Prasasti Selabraja ditemukan di Dusun Selobrojo, Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Dusun ini terletak di lereng sebelah barat Gunung Kawi. Desa Banjarejo terletak sekitar 9 kilometer dari jalan raya Batu-Ngantang dengan melewati Desa Purworejo. Untuk mencapai lokasi prasasti Selobrojo, kondisi jalannya mulai beraspal lalu dilanjutkan dengan jaln aspal berlubang-lubang. sampai dengan jalan tanah. Selanjutnya melewati jalan tanah agak menanjak tetapi relatif lebar. Prasasti Selabraja saat ini berada di dalam bangunan tidak berdinding berdampingan dengan sebuah makam. Di sebelah bangunan tersebut terdapat undak-undakan menuju areal datar yang sempit dengan peneduh pepohonan tua. Di situ ada dua balok batu di tengah beberan batu-batu alam. Oleh penduduk setempat prasasti ini dikenal sebagai Watu Sendenan.

Prasasti ini terbuat dari batu dengan tinggi 66 cm, lebar di bagian atas 37 cm, bagian bawah 33 cm dan ketebalan 10 cm. Keadaan prasasti pada bagian bawah baris ketujuh ditambal semen, mungkin prasasti ini pernah retak atau patah. Angka tahun prasasti ini tertulis rasa beddhā beddha, dan angka di belakangnya hilang. Diduga prasasti ini berangka tahun 1336 Saka atau 1414-1415 Masehi. Prasasti ini terdiri dari 7 baris dan berbahasa Jawa Kuno. Transkripsinya diterbitkan oleh Brandes dalam Oud-Javaansche Oorkonden.

Transkripsi Bagian depan
|| rasabeddhābeddha…..

Transkripsi Bagian belakang:
1. sang hyang maṇḍa ring awaban, purwwaka ning mapas
2. yu kbo glis rangkěpi kbo …… duran, kangkěna
3. ra sang hyang maṇḍala ri sagara ṇa dang map, tingkaha
4. hyang maṇḍala ring awaban, lāwan tingkahanira sang
5. ngapālungguḥ tunggal tunggalawatékṣagara, kaya
6. tnakna sangadŗwya kabuyutan ma(ng)kana samatung
7. ga(l)ḍapur o o o o (o) o

Ada juga transkripsi yang agak berbeda sebagai berikut:
1. sang hyang maṇḍara (lees la ri) ngawaḍan, purwwakaning mapas
2. yu kbo glis rangkěpi kbo …….. duran, kangkina
3. ra sang hyang maṇḍala ri sagara ……. tingkaha (nira sang)
4. hyang maṇḍala ring awaḍan, lawan tingkahanira si
5. ngapālungguḥ tunggaltunggala ……bikṣagara, kaya
6. tnakna sang adŗwya kabuyutan ma(ng)kana sama tung
7. ga(l) ḍapur.

Selabraja adalah prasasti penting yang bisa mengungkap punden Watu Gilang. Prasasti ini berasal dari Dusun Selobrojo Desa Banjarejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Di dalam prasasti termuat dua mandala penting di Ngantang dan Pujon, yakni Mandala Awaban dan Sagara.

Prasasti Selabraja memiliki angka tahun 1336 saka atau 1414 masehi (Wawan Yogaswara 2005). Jika ditinjau angka tahunnya, maka prasasti itu masuk pasca keemasan Majapahit. Tepatnya pada masa Raja kelima yakni Wikramawarddhana (1389-1429 Masehi).
Terdapat dua teks yang membahas soal mandala Awaban dan Sagara. “Sang hyang manda ring awaban, purwwaka ning mapas / ra sang hyang mandala ri sagara na dang map, tingkaha”. Keduanya dianggap sangat penting sehingga harus ditulis dalam prasasti era Majapahit dengan nama Selabraja.
Arkeolog Dwi Cahyono menjelaskan mengenai keberadaan mandala Awaban dan Sagara. Untuk mandala Sagara, Dwi menduga merupakan kawasan perairan yang saat ini menjadi Bendungan Selorejo. Pada masa Majapahit, kawasan itu sudah ada Dawuhan (Bendungan) kuno, pasca kemerdekaan direvitalisasi sebagai Bendungan Selorejo.
Apalagi di Selorejo juga ditemukan banyak arca. Termasuk prasasti Selabraja yang jaraknya cukup dekat dari dawuhan. Dugaan itu tentu berasal dari toponimi sagara, yang bisa diartikan sebagai segoro (perairan).
Lantas apa hubungan Awaban dengan Watu Gilang? Menurut Dwi, Awaban ini adalah nama kuno situs Watu Gilang. Diidentifikasikan bahwa toponimi Ngabab berasal dari Awaban yang awalnya mendapat sengau ‘Ng’.  Kemudian perubahan huruf W menjadi B. Jarak Ngabab dan Selabraja juga tidak jauh, hanya terpisah Sungai Konto.
“Kalau melihat bentuknya, maka itu adalah situs megalitik, bisa jadi mengalami revitalisasi pada era Majapahit, seperti dijelaskan W.F. Stutterheim era Majapahit muncul apa yang disebut sebagai neo megalitik,” urai Dwi.
Bangunan yang berbentuk benteng, sebenarnya adalah tanggul untuk penahan kontur tanah bertebing. Adapun bangunan induknya saat ini belum ditemukan. Sebagai sebuah situs megalitik, bisa didapati teras-teras berundak. Bangunan induk berada di bagian paling atas disertai altar sesajian.
“Yang pernah ditemukan di situ adalah lumpang batu dan bata kuno, sedangkan ciri khas megalitik tampak dari balok batu berupa kolom-kolom besar,” katanya.
Lantas bagaimana dengan sebutan Watu Gilang? Kata Dwi, sebutan itu lumrah berlaku untuk situs megalitik. Sebenarnya Watu Gilang merujuk kepada balok batu persegi panjang, sebagai struktur bangunan.  Sebagai bangunan megalitik, Mandala Awaban berorientasi kepada puncak Gunung Dworowati.
“Lihat saja tanahnya berteras tampaknya yang ditembak puncak Dworowati. Sebab puncak ini, dari Ngantang berbentuk kerucut seperti sebuah lingga yang besar,” urai dia.
Situs Ngabab sebagai mandala amat tepat berada di Pujon. Secara toponimi, berasal dari kata pepujan atau pemujaan. Pada masa Majapahit, Mandala Awaban memiliki fungsi yang sangat penting.
“Sampai saat ini tetap disakralkan warga, meskipun makam yang berada di sana adalah makam semu, itu biasa terjadi pada situs megalitik,” imbuhnya.
Kawasan mandala Awaban, dulunya juga berada di dekat jalur kuno. Pada masa Singosari hingga Majapahit, jalur perdagangan tidak melewati jalur yang ada saat ini. Dulu cenderung melalui punggungan bukit, tidak berada di pinggir sungai seperti jalur yang ada kini.
“Sebab pinggir sungai di antara Gunung Kawi dan Gunung Anjasmoro dulunya adalah hutan yang sangat lebat, lebih mudah melalui punggungan gunung,” bebernya.
Jalurnya mulai dari Kasembon kemudain melereng ke Ngantang melalui Jombok menuju Ganten (Ganter). Naik sedikit ke arah Dworowati menuju Ngabab ke arah Dewi Sri. Lantas dari Pujon turun melalui jalur tembus langsung ke Songgoriti.
“Makanya banyak ditemukan koin kuno di sekitar situs, dulu memang jadi akses jalur Batu-Jombang –Kediri atau dari hulu Brantas ke Middle Brantas di Kediri atau Jombang,” papar dia.
Sebelum masa Wikramawarddhana, Prapanca juga sudah memasuki kawasan tersebut. Prapanca disela mendampingi Hayamwuruk bergerak ke Sagara, tujuannya dalam Negarakertagama tertulis di Desa Hambal (sekarang Dusun Kambal Pujon). Sejarah kawasan Malang Barat menurut Dwi sangat besar.
“Dulu banyak ditandai dengan keberadaan tokoh penting, seperti Atuha Kandangan, Mandala Awaban dan Sagara. Bahkan Pemandian Dewi Sri di Pujon, dulu adalah petirtan penting, saya yakin dulu ada arca jaladwara Dewi Sri, airnya keluar dari payudara atau bisa jadi keluar dari teratai,” pungkasnya.

(Sumber: Oud-Javaansche Oorkonden, Gfp Suntoro  http://ngalam.id )

(Sumber:http://www.malang-post.com/rubrik/ekspedisi/94181-mandala-awaban-nama-kuno-watu-gilang)

SUMBERSARI OKE