Mengenang Riwayat Angkutan Bemo Di Malang
Revolusi angkutan umum di Malang berlangsung begitu cepat, dulu ada trem Malang Stoomtram Maatschappij (MSM), demo, atax, hingga bemo. Nama yang disebut terakhir berperan besar sebelum akhirnya digantikan Mikrolet pada tahun 1997.
Keberadaan bemo di Malang sudah ada pada tahun 60-an, hal ini terlihat dari beberapa dokumen foto saat peresmian tugu Kota Malang yang terlihat bemo terparkir di belakangnya. Meski sebagai angkutan baru, angkutan dari Jepang tersebut langsung mendapatkan tempat di hati masyarakat Malang.
Kendaraan roda tiga itu langsung menjadi primadona lantaran berjalan lebih cepat dibandingkan trem MSM, sementara di tengah kota kendaraan yang dibuat oleh Daihatsu ini juga mampu melaju di gang sempit dan sanggup mengalahkan becak. Superioritas bemo juga semakin nampak saat suku cadang dari Demo dan Atax sebagai angkutan umum pesaing tidak diproduksi lagi. Pendek kata, bemo benar-benar menemukan masa jaya selama kurang lebih 30 tahun di Malang.
Penulis sendiri lupa seperti apa trayek bemo yang ada di Kota Malang kalau coba mengingat dulu cuma ada tiga rute yaitu Pasar Besar-Dinoyo, Blimbing-Pasar dan Pasar-Gadang. Selain itu bemo dulu banyak menunggu penumpang di Stasiun Jagalan, Stasiun Kotabaru, hingga sejumlah pasar.
Hingga akhirnya, pada tahun 1980-an keberadaan bemo di Jakarta dilarang secara resmi karena menimbulkan polusi udara. Selain itu, mesin yang digunakan semakin tua dan Daihatsu tidak menyediakan suku cadang lagi. Tidak heran kebijakan itu coba ditiru di Malang.
Upaya Pemerintah Kota Malang untuk melakukan peremajaan angkutan memang tidak mudah, beberapa kali diumumkan, beberapa kali pula mereka mendapatkan demo dari sejumlah sopir bemo di Malang. Sementara di sisi lain, puluhan Bemo plat B dari Jakarta pelan dan pasti mulai membanjiri Malang. Meskipun suku cadang tidak tersedia, banyak sekali bengkel di Malang yang bisa membuat tiruannya atau melakukan kanibal dengan Bemo lain dari Jakarta.
Di negara asalnya, Jepang, konon bemo tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai angkutan manusia, melainkan sebagai angkutan barang. Akibatnya, ketika dipasangkan tempat duduk, ruangan yang tersedia pun sebetulnya sangat sempit. Apalagi biasanya bemo digunakan untuk mengangkut paling kurang 8 penumpang, enam di bagian belakang, dua di depan, termasuk sang pengemudi. Karena itu penumpang di bagian belakang seringkali harus beradu lutut, duduk berdesak-desakan. Namun akibatnya, menumpang bemo dapat menimbulkan kenangan manis tersendiri, khususnya bagi mereka yang bertemu jodohnya di bemo. | Wikipedia
Di awal tahun 1990-an, data yang dirilis oleh Pemkot ada sekitar 600 sopir bemo di Malang. Artinya, jika melakukan peremajaan, Pemkot harus memikirkan nasib sopir ke depannya.
Bulan April 1997, bemo resmi dilarang keberadaannya di Malang. Pelarangan bemo ini ditandai dengan peluncuran mikrolet sebagai pengganti. Di tahun itu Pemerintah Kota (Kodya) Malang meluncur 265 mikrolet yang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama sebanyak 160 unit mikrolet dan tahap kedua sebanyak 105 Mikrolet.
“Kami berani meluncurkan mikrolet setelah paguyuban pengemudi bemo menyatakan siap mengandangkan bemonya. Memang yang bersedia dikandangkan masih 77 unit, kami akan terus memantau,” Walikota Malang H Muhammad Soesamto, April 1997.
Tantangan dari sopir mengalir deras, utamanya mahalnya peremajaan yang harus dibayar. Ketika itu, dua buah bemo bisa ditukar dengan satu buah mikrolet. Sementara harga trayek mikrolet adalah Rp7 juta (nilai tukar dollar terhadap rupiah pada waktu itu adalah Rp2.955 untuk satu dollarnya).
Tetapi, nampaknya para sopir tidak ingin berpolemik karena mereka secara pelan-pelan akhirnya menuruti pemkot untuk meneruskan pekerjaan sebagai sopir bemo ataupun mencari pekerjaan lain yang ditawarkan pemerintah.
(Dikutip dari http://ngalam.co)