SENGGURUH, KERAJAAN OTONOM DI PENGHUJUNG MASA HINDU-BUDDHA

SENGGURUH, KERAJAAN OTONOM DI PENGHUJUNG MASA HINDU-BUDDHA
Oleh:
M. Dwi Cahyono

A. Petanda Akhir Masa Hindu-Buddha
Bilamana masa Hindu-Buddha berakhir? Banyak ahli menjadikan tarikh keruntuhan Majapahit sebagai petanda bagi akhir Masa Hindu-Buddha. Jika benar demikian, ‘bilamana kerajaan Majapahit runtuh?’Ada dua eksponen pendapat, yaitu: (1) 1478 Masehi, (2) antara 1518 hingga 1521 Masehi. Pendapat pertama mendasarkan berita tradisi seperti Pararaton (hal. 229-230), Serat Kanda, Babad ing Sengkala dan Serat Darmagandul, yang menyatakan bahwa Majapahit runtuh lantaran serangan Demak pada pemerintahan Raden Patah. Tarikh keruntuhannya dinyatakan Pararaton dengan menggunakan candrasangkala lombo berbunyi ‘sirna (0) ilang (0) kreta (4) ning bhumi (1)’, yang menunjuk tarikh Saka 1400 (1478 M).
Pendapat itu banyak yang meragukan kesahihannya, sebab baik sumber-sumber data epigrafi ataupun berita asing seperti berita Cina zaman Dinasti Ming (1368-1643 M.), berita Portugis dari Rui de Brito (1514 M), Tome Pires (1515 M) dan Antonio Pigafetta (1522 M) maupun berita Italia dari Duarte Barbarosa (1518 M,), memberi gambaran bahwa Majaphit masih eksis hingga cukup lama pasca 1478 M. Peristiwa tahun 1478 M itu bukanlah serangan Demak atas perintah Raden Patah terhadap Kerajaan Majapahit, melainkan serangan balas dendam dari Dhyah Ranawijaya (putera Bhre Pandan Salas) terhadap Bhre Kretabhumi yang sebelumnya berhasil menggusur Bhre Pandan Salas dari kadatwannya di Wilwatikta.
Pendapat kedua mengemukakan bahwa Majapahit baru mengalami keruntuhan antara tahun 1518 hingga 1521 M. Adipati Unus dari Demak menundukkan ‘kerajaan kafir’ yang dikuasai Pate Udara. Ketika Tome Pires melakukan pengembaraan dari Malaka ke Nusantara tahun 1515 M, kerajaan Majapahit masih ada. Pires menyatakan Pate Udara sebagai penguasa di Majapahit. Begitu pula menurut Duarte Barbarosa, tiga tahun berikutnya (1518 M) di Jawa masih ada kerajaan kafir, yang dikuasai oleh Pate Udara. Beda dengan Antonio Pigafetta, yang melaporkan bahwa pada tahun 1521 penguasa di Majapahit adalah Adipati Unus (Pa-ngeran Sabrang Lor). Kala itu Majaphit hanya tinggal berupa sebuah kota diantara kota-kota besar lain di Jawa. Berita ini menghadirkan kesan bahwa pada tahun 1521 terjadi pergeseran politik di Majapahit dari Pate Udara penganut Hindu ke Adipati Unus yang beragama Islam. Informasi itu sejalan dengan berita Cina, yang mencatat bahwa hingga 1499 M masih ber-langsung hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).
Sumber data epigrafi juga mengemukakan adanya raja Majapahit yang memerintah hingga pasca 1478 M, yaitu Ranawijaya. Ia mulai memerintah tahun 1474 M.  Pada periode awal pemerintahannya, Ranawijaya didampingi rakryan apatih Pu Wahan, dan pada masa akhir pemerintahannya didampingi Patih Udara. Menurut Babad Tanah Jawi, Patih Udara adalah putera Patih Wahan. Tome Pires (1515 M) menyebutnya dengan logat Portugis seba-gai ‘Pate Udara atau Pate Andura (Pate Amdura)’. Kendati hanya sebagai patih dan panglima, tetapi Udara memiiki kekuasaan amat besar. Ia dianggap seperti raja. Bisa jadi kedudukannya serupa dengan Patih Hamangkubhumi dalam Masa Keemasan Majapahit, yang ketika masa Tribhuanatunggadewi dan Hayam Wuruk dijabat oleh Gajahmada.
Pasca tahun 1478 M kendati kadatwan Majapahit berpindah dari Wilwatikta ke Daha, Kling dan kemudian di Kadiri serta terjadi alih dinasti dari Rajasavamsa ke Girindravamsa, namun sebagai kerajaan, kerajaan Majapahit eksis hingga tiga dasawarsa berikutnya. Walau Ranawijaya berhasil dikalahkan Adipati Unus, namun para penguasa bawahan (vassal)nya di penjuru Jawa Timur melanjutkan pemerintahannya, bahkan memposisikan diri sebagai kera-jaan yang otonom dari kekuasaan Demak. Terlebih setelah kemangkatan Adipati Unus tahun 1521 M. Oleh karena itu, Sultan Trenggana (pengganti Adipati Unus) melakukan ‘penakluk-kan ulang’. Dalam kurun waktu panjang (1525-1545 M), satu per satu kerajaan Hindu oto-nom di Wirasari, Gegelang, Medangkungan, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Balitar, Wira-saba, kawasan Penanggungan, Mamenang dan Sengguruh ditaklukkan dan ditempatkan ke dalam kekuasaan Kasultanan Demak.
Jika benar bahwa keruntuhan Majapahit antara tahun 1518 hingga 1521 M merupakan petanda bagi akhir masa Hindu-Buddha, berarti setelah itu tak ada lagi kerajaan otonom yang berlatar Hindu atau Buddha di Jawa atau lebih luas lagi di Nusantara. Sebagai penggantinya, hadir Kasultanan Demak di Pantura Jawa dan kasultanan-kasultanan berlatar Islam lainnya di luar Jawa. Padahal kerajaan otonom Sengguruh yang berlatar Hindu baru ditaklukkan oleh Trenggana tahun 1545 M. Hal ini menjadi pembukti bahwa tahun 1518 hingga 1521 M bukan tarikh akhir bagi masa Hindu-Buddha, sebab hingga dua setengah dasawarsa berikutnya ma-sih terdapat ‘kantong-kantong’ kerajaan otonom berlatar Hindu, sebuah diantaranya adalah Sengguruh (disebut juga ‘Tanjung Senggruh’) di sub-area selatan Malang.
Keberadaan kerajaan Sengguruh tidak banyak diketahui, tidak terkecuali oleh warga Malang Raya sendiri. Padahal, hal itu membanggakan warga Malang, sebab menambah deret panjang pusat pemerintahan kerajaan yang berlokasi di Malang Raya. Berturut-turut adalah kadatwan Kanjuruhan (abad VIII), Mataram masa pemerintahan Sindok (paro pertama abad X), Singhasari (abad XIII), vasal Majapahit di Tumapel dan Kabalan (abad XVI-XV), dan terakhir kerajaan Sengguruh (paro ke-2 abad XV hingga paro ke-1 abad XVI). Selain itu, menjadi ‘bukti legimitatif’ bagi Pemkab Malang untuk merelokasi pusat pemerintahannya ke Kepanjen. Sejarah membuktikan bahwa sub-area selatan Malang pernah menjadi basis keku-atan Jenggala (abad XII), kemudian menjadi kadatwan Sengguruh (abad XV-XVI). Toponimi ‘Kepanjen’ adalah kata jadian ‘ka-Panji-an’, yang mengindikasikan bahwa daerah ini konon merupakan tempat kedudukan para Panji, yakni ksatria sekaligus pimpinan satuan ketentara=-an. Adapun toponimi ‘Jenggolo’, padamana jejak artefaktual kerajaan Sengguruh ditemukan,  turut menguatkan alibi itu.
B. Sumber Data dan Data Kerajaan Sengguruh
Sumber data tekstual yang memberitakan tentang kerajaan Sengguruh sangat terbatas.  Serat Kanda hanya memuat sekilas tentang Sengguruh dan Pa(-malang). Begitu pula Babad Sengkala. Informasi cukup rinci justru didapat dalam legenda lokal “Sengguruh dan Gibik” (Codex Lor No. 3035), yang termaktub dalam buku berseri (4 jilid) karya Th. G. Th. Pigeaud, terbit 1967-1980, dengan judul ’Literature of Java’. Kedua tradisi lisan (oral traditions) itu saling kait. Apabila pemberitanya berupa tradisi lisan, maka pertanyaannya adalah ‘apakah kerajaan Sengguruh fiksi atau faktual adanya?’. Sayang sekali riset arkeologis dan historis terhadapnya sejauh ini amat kurang, sehingga kerajaan Sengguruh masih dalam keremangan sejarah, bahkan nyaris merupakan misteri masa lampau. Beruntung sejak tahun 1990-an ada upaya untuk menelisik sumber-sumber data lain, diantaranya sumber data arkeologis (artefak-tual) dan ekofaktual guna mencerahkan dan membuktikan bahwa kerajaan Sengguruh bukan sekedar legenda, melainkan factual adanya.
Tradisi lisan atau sejarah lisan mengisahkan bahwa bersama dengan Tigang Juru dan Blambangan, Sengguruh merupakan kantong kerajaan bercorak Hindu terkhir di Jawa. Ketika daerah-daerah lain di Jawa Timur telah berhasil diIslamkan oleh Demak, ketiganya memper-tahankan diri sebagai kerajaan otonom. Sengguruh baru berhasil ditundukkan oleh Trenggono dari Demak tahun 1545 M. Padahal menurut H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Pasurun (Gamda) yang diperintah Pate Sepetat telah berhasil dikalahkan tahun 1435 M, menyusul Balitar tahun 1542 M, kemudian Mamenang tahun 1544 M. Penguasa Sengguruh bernama Raden Pramana, putera patih Majapahit bernama Udara (Guste Pate), yang mendampingi Ranawijaya dan berkedaton di Kediri. Pramana bersaudara ipar dengan raja Gamda.
Nama “Sengguruh” mengingatkan kepada sebuah desa, yang berlokasi sekitar 5 km di selatan Kepanjen, yang dilintasi oleh Bangawan Brantas dan Kali Metro. Graaf dan Pigeaud melokasikannya di hulu Brantas, pada bagian selatan Malang. Ketika Masa Hindia-Belanda, Sengguruh bahkan menjadi nama salah sebuah distric di dalam wilayah Regent (Kabupaten) Malang. Bertetangga dengan Senggruh adalah Desa Jenggolo. Toponimi ’Jenggolo’ meng-ingatkan kepada kerajaan Jenggala, yang terlibat perang saudara panjang dengan Panjalu (Kadiri). Kisah perseteruan kedua kerajaan ini serta upaya mendamaikannya lewat ’kekuatan cinta’ menjadi tema sentral dalam ragam cerita Panji.
Toponimi ’Jenggolo’ bisa direlasikan dengan ’Kepanjen’. Bisa jadi pada akhir peme-rintahan Kadiri (paro ke-2 abad XII M) wilayah Malang Selatan menjadi basis perlawanan Jenggala terhadap Panjalu, atau tempat keberadaan para Panji, yakni ksatria dan sekaligus pimpinan satuan ketentaraan, setelah pusat pemerintahan Jenggala terdahulu di kawasan apit aliran Brantas-Bengawan Solo direlokasi ke ’delta’ Sidoarjo, lantas ke timur G. Kawi. Pada masa Singhasari, tepatnya masa pemerintahan Wisnuwardhana, ada suatu daerah di sekitar Sengguruh yang menyandang status perdikan (sima), sebagaimana diberitakan dalam prasasti yang ditemukan di Desa Kranggan (OV, 1926: 98, dst.), tidak jauh dari Desa Sengguruh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak serta merta sub-area selatan Malang tampil ke muka sebagai pusat pemeritahan (kadatwan) pada akhir masa Majapahit (XV-XVI M.), mengingat bahwa sejak masa akhir Jenggala (XII M.) dan Singhasari  (XIII M.) di sini telah terdapat sistem sosio-budaya teratur dan terbilang maju pada jamannya.
Kerajaan Sengguruh terbilang kuat. Hal itu terbukti dalam dua hal. Pertama, kerajaan Sengguruh baru berhasil ditaklukkan Demak tahun 1545 M, setelah sebagian besar penguasa otonom bercorak Hindu di Jawa Timur berhasil ditundukkan. Kedua, tradisi lokal mengkisah-kan bahwa untuk beberapa lama Sengguruh berhasil menduduki Giri, yang kala itu menjadi basis kekuasaan Islam terbesar di Jawa Timur. Pasukan Giri dibawah pimpinan Jagapati tidak kuasa menghentikan serangan Sengguruh. Sunan Dalem meninggalkan Giri Kedaton menuju ke kediaman pamannya, Syeh Manganti (Syeh Koja) di Gumena – yang kala itu diperintah oleh Ki Dang Palih. Sebelum menyerang Giri, pasukan Sengguruh menyerang sekelompok kecil Cina Muslim di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris di dekat Lamongan. Pen-dudukan atas Giri diakhiri setelah Demak mengalahkan Pasuruan (1535 M), sebab dengan demikian akses Sengguruh-Giri terpotong di tengah oleh pengusaan Demak atas Pasuruan. Legenda lokal mengkisahkan bahwa ketika bala tentara Sengguruh membuka dan merusak makam Sunan Satmata, sekoyong-konyong sekawanan lebah keluar dari dalam makam dan lantas mengusur pasukan Sengguruh dari Giri Kedaton.
Penaklukkan atas Pasuruan (1535 M), Balitar (1541/42 M) dan Mamenang (1544 M) meratakan jalan untuk menyerang Sengguruh dari arah barat dan utara. Serangan dari utara memperoleh bala bantuan dari Gribik atau Ngibik. Hal ini dapat difahami, sebab pemimpin di Gribik beralih memeluk Islam berkat jasa Syeh Manganti, paman Sunan Giri. Seperti biasa-nya cerita yang demikian acapkali tidak menyebut watunya. Namun dengan membandingkan daerah-daerah pedalaman lain, seperti Singkal di Kediri, Tembayat di Klaten, Pasir di barat daya Tanah Jawa, ada kemungkinan masa berlangsungnya sekitar tahun 1500. Kala itu pada daerah-daerah tertentu di pedalaman Jawa telah terbentuk kelompok-kelompok Islam berkat pengaruh orang-orang alim dari Pantura Jawa. Penempatan murid Syeh Manganti di Gribik dimaksudkan untuk mengontrol kantong kerajaan Hindu terkhir di Sengguruh. Tokoh legen-daris dan sekaligus keramat, yang disemayamkan di kompleks makam Gibik pada lembah barat Bukit Buring (nama lama ’Gunung Malang’), yang oleh warga Malang diperidikati ’Ki Ageng Gribik’ adaah pionir Islamisasi di Malang Raya periode awal. Besar kemungkinan Gribik sama dengan ’Pa(-malang)’, yang diberitakan dalam Serat Kanda, mengingat Gribik berada di lembah sisi barat G. Malang (Buring).

C. Menelisik Istana Sengguruh yang Raib
Jejak sosio-budaya masa lampau tidak senantiasa hadir lengkap dan jelas pada masa sekarang. Sebaliknya lebih sering tinggal berupa reruntuhan yang tak lengkap, fargmentaris, bahkan nyaris musnah. Kemungkinan terakhir ini menimpai kerajaan Sengguruh, yang sebe-narnya terbilang besar dan kuat untuk ukuran jamannya (XVI M). Sejauh telah ditemukan di permukaan tanah, data artefaktual didapati di dua lokasi, yakni di makam Desa Jenggolo serta di tempat yang tidak jauh (200-400 meter) dari pertemuan (tempuran) Kali Metro dan Brantas, yang masuk dalam wilayah Desa Jenggolo.
Pada makam umum Desa Jenggolo tak sedikit ditemukan bata-bata kuno. Kini banyak yang dalam kondisi terbongkar akibat penggalian liang lahat. Meski tinggal sedikit, ada pula membentuk struktur, utamanya di sebelah utara lorong jalan pembelah ereal makam. Selain itu didapati satu hingga dua buah sumur kuno, sebuah lumpang batu ukuran besar dan fagmen lumpang batu ukuran kecil, sebuah umpak batu dan fragmen gerabah non-glasir di permu-kaan tanah. Terdapat pula makam Mbah Rekso, yang diperlengkapi dengan jirat dan nisan bergaya lama (sayang permukaannya dicat putih), dinaungi cungkup bergaya arsitektur Indis dibangun tahun 1887. Di muka cungkup tegak berdiri pohon kuno dan langka ’nagasari’, empat buah nagasari lainnya berada di tempat berbeda dalam areal makam Desa Jenggolo. Tidak seluruh artfek di makam Desa Jenggala berasal dari Masa Hindu-Buddha, namun ada pula yang berasal dari Masa Perkembangan Islam. Hal ini menjadi petunjuk bahwa tinggalan arkeologi di makam Desa Jenggolo berasal dari lintas masa.
Makam Islam kuno juga dijumpai di situs Krapyak. Yang menarik dan penting di situs ini adalah adanya dua buah umpak (pelandas tiang) dari batu andesit yang ormamentik. Sebu-ah umpak dengan ukuran dan bentuk yang sama ditemukan sekitar 100 m di selatannya, yang dalu satu unit dengan umpak di situs Krapyak, yang bila lengkap berjumlah empat buah atau kelipatannya. Menilik pahatan di permukaan umpak berbentuk kelopak-kelopak kuncup bu-nga teratai (dipancung di bagian atasnya sebagai tataan tiang), tentu bukanlah umpak dari bangunan biasa, melainkan umpak untuk bangunan rumah yang tegolong penting. Pertanyaan yang mencuat adalah ’apakah bangunan itu adalah bangunan utama di areal terdalam (jeroan) kompleks keraton Sengguruh, yang konon difungsikan sebagai pelandas soko guru (tiang po-kok) dari suatu bangunan bertipe joglo?’
Hipotetsis bahwa di sekitar situs Krapyak terdapat areal yang dikelilingi pagar bata terdukung oleh adanya reruntuhan dan struktur bata membujur timur-barat menuju aliran Kali Metro. Jika benar merupakan pagar kompleks keraton, tepatnya pagar areal dalam (jeroan), tentu temuan ini hanya salah satu sisi pagar keliling. Sayang sekali, telah bertruk-truk bata kuno reruntuhan pagar keraton itu diangkut keluar situs. Serakan bata-bata kuno juga banyak didapati di persawahan sekitarnya, yang muncul ke permukaan ketika pengerjaan lahan untuk penanaman padi dan tebu. Melalui penelitian arkeologi yang seksama di sekitar tempuran Kali Metro dan Brantas, bukan tidak mungkin jejak kadatwan Sengguruh yang raib itu dapat dibuktikan dan kegelapan sejarah (dark history)nya bisa dicerahkan.

D. Pertahanan dan Adaptasi Ekologis Warga Kerajaan Sengguruh
Daerah Sengguruh dan sekitarnya dua kali menjadi basis perlawanan, yaitu pada masa akhir kerajaan Kadiri (XII M) dan akhir Majapahit – sekaligus awal Kasultanan Islam (XVI M). Bukan tanpa pertimbangan untuk memilihnya sebagai basis perlawanan sekaligus pusat pemerintahan kerajaan. Salah satu pertimbangannya adalah secara ekologis daerah ini cocok untuk keperluan pertahanan. Bagi pertahanan-keamanan, daerah Kepanjen hingga Sengguruh memiliki geostrategis yang dibutuhkan oposan Jenggala dalam menghadapi tekanan militer kerajaan Panjalu. Kala itu, sub-kawasan selatan Malang relatif terisolir oleh aliran sungai, hutan dan lokasinya di lembah hingga lereng Pegunungan Kapur (Kendeng) Selatan. Keter-isolirannya tersebut justru menjadi kalkulasi ekologis bagi kepentingan pertahanan-keamanan ketika kerajaan dalam situasi konflik.
Pertimbangan serupa kiranya juga menjadi alasan bagi kerajaan Sengguruh untuk menempatkan kadatwannya di kawasan Malang Selatan, mengingat bahwa kala itu ’kantong-kantong kerajaan bercorak Hindu yang otomom’, semisal Sengguruh, berada dalam kondisi rawan lantaran ekspansi politik Kasultanan Demak ke penjuru wilayah Jawa Timur. Aliran kali Metro pada sekiar 200 m di sisi barat dan aliran bangawan Brantas pada sekitar 400 m di sisi selatan kadatwan Sengguruh dijadikan barier, yakni semacam ’parit alam yang lebar dan curam’ dalam menghambat gerakkan lawan (pasukan Demak), khususnya yang datang dari arah barat (Balitar dan Mamenang). Untuk kepentingan perlidungan, areal dalam kadatwan Sengguruh juga dilindungi dengan dinding bata tebal dan tinggi, yang kini sisa reruntuhannya didapati di areal persawahan.
Berdasarkan jejak arkeologis yang didapatkan [meski cuma sedikit], yang antara lain berupa tiga umpak batu yang ornamentik, stuktur dinding memanjang timut-barat maupun sebaran bata kuno di persawahan sekitar situs Krapyak, ditambah lagi letaknya pada sekitar pertemuan (tempuran) Kali Metro (sisi barat) dan Brantas (sisi selatan), bisa jadi areal dalam (jeroan) kadatwan Sengguruh di tempat ini, yang kini masuk dalam wilayah Desa Jenggolo bagian selatan-barat. Desa yang sekarang bernama ’Jenggolo’ itu, dulu berada dalam wilayah Sengguruh, bahkan menjadi pusat pemerintahan (kadatwan)nya. Lingkungan dalam (watek i jro) kadatwan Sengguruh kiranya mencapai areal makam Desa Jenggolo, padamana didapati jejak arkeologis yang terbilang banyak.
Hingga kini baik di Sengguruh maupun Jenggolo dijumpai persawahan berigasi yang luas. Konon pertanian menjadi pencaharian utama warga Sengguruh. Terdapat pula sejumlah sumber air (tuk), utamanya Sumber Songo dan Sumber Ubalan, yang didayagunakan sebagai pemasok air bersih bagi warga dalam (wargga i jro) di kadatwan Sengguruh. Sumber Songo yang airnya berlimpah hanya berjarak 300-an meter di selatan lokasi temuan data arkeologis pada makam Desa Jenggolo. Pada aliran Brantas maupun Metro di Jenggolo-Sengguruh tidak banyak didapati batu kali (andesit). Oleh karena itu dapat difahami bila komponen bangunan yang utama adalah bata ukuran besar yang dibakar dengan derajat panas tinggi. Penggunaan bata sesuai dengan kategori bangunan yang dibuat, yaitu bangunan profan berupa keraton dan kelengkapannya. Bahan-bahan bangunan lain, seperti kayu, genting, sirap, dsb. masih belum ditemukan, mungkin terpendam tanah atau kemungkinan rusak dan hancur atau terbakar keti-ka terjadi serangan pasukan Demak (1545 M). Lewat ekskavasi dimungkinkan data arsitektur dan perangkat hidup warga dalam Sengguruh bisa didapatkan.

E. Kesinambungan Historis Sengguruh Lintas Masa
Peristiwa sejarah bukan hadir dengan tiba-tiba di suatu masa dan berakhir pada masa itu pula. Suatu peristiwa tidak senantiasa ’sekali berarti, dan setelah itu mati’, namun acap merupakan rangkaian peristiwa yang bersinambung. Peristiwa berikut sebagai kelanjutan atau hasil perubahan dalam rangka penyesuaian, atau bisa jadi dampak dari peristiwa terdahulu. Dalam konteks kesejarahan Sengguruh, tentunya tidak serta-merta hadir pusat pemerintahan kerajaan (kadatwan) di daerah ini. Ada sejumlah kalkulasi untuk memilih Sengguruh sebagai kadatwan, antara lain adanya sistem sosio-buaya teratur, yang secara bertahap dan berkelan-jutan dibangun di Sengguruh dan sekitarnya sejak abad XII M. Pada akhir Kadiri (Panjalu), Kepanjen hingga daerah di selatannya menjadi basis perlawanan Jenggala di bawah pimpinan para Panji terhadap Panjalu. Terhitung sejak tahun 1035 M, berdasarkan informasi prasasti Hantang yang mencantumkan aksara kwadrat besar berbunyi ’Panjalu Jayati (Kemenangan Panjulu), kawasan timur G. Kawi menjadi daerah pendudukan Panjalu.
Mumcul resistensi (penolakan, penentangan) dari masyarakat di timur G. Kawi, yang memilih sikap berkoalisi dengan kerajaan Jenggala melawan Panjalu. Ken Angrok adalah salah seorang ’Panji’ itu, yang menjadi motor penggerak dan sekaligus pimpinan perlawanan rakyat Jenggala di timur G. Kawi untuk membebaskan dari pendudukan Panjalu. Toponimi ’Jenggolo’ yang kini menjadi nama desa yang bertentangga dengan Desa Sengguruh adalah indikator tentang itu. Toponimi ’Kepanjen’, yang merupakan kata jadian ’ka-Panji-an’, juga menjadi petunuk bahwa daerah Malang Selatan dijadikan basis kekuatan Jenggala, sementara Panjalu menjadikan Malang Utara sebagai basis pendudukannya dengan pusat di Tumapel di bawah pimpinan akuwu Tunggul Ametung. Pustaka gancaran Pararaton dengan rinci meng-gambarkan keonaran di Malang bagian utara, tengah, dan timur yang diulahi Ken Angrok untuk menciptakan kondisi chaos (kacau) di wilayah pendudukan Panjalu ini.
Bagaimanakah gambaran Sengguruh pada pasca pemerintahan Panjalu? Sama halnya pada masa pemerintahan Kadiri dan awal Majapahit, gambaran tentangnya pada masa keraja-an Singhasari hanya samar-samar. Beruntung ditemukan sumber data epigrafi, yang berupa prasasti di Desa Kranggan – tidak jauh dari Sengguruh, yang berasal dari pemerintahan raja Wisnuwarddhana. Prasasti yang memuat penetapan status sima (perdikan) ini memberi kita informasi bahwa daerah di Sengguruh dan sekitarnya terbilang maju, sehingga layak menyan-dang status ’swatantra’, yakni desa otonom, yang memperoleh anugerah hak istimewa untuk mengelola rumah tangga desanya sendiri.
Pasca Masa Hindu-Buddha, peran Sengguruh sebagai sentra peradaban tidak lantas musnah. Ketika terjadi ekspansi Demak ke Sengguruh (1545 M), Raden Pramana tidak ikut tewas, namun menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Momentum ini menjadi titik awal Islamisasi di Malang Selatan. Mulai tahun 1545 Sengguruh ditempatkan di bawah kekuasaan Kasultanan Islam di Demak. Boleh jadi, Mataramisasi ke mancanegara wetan pada masa pemerintahan Sultan Agung tahun 1614 tidak hanya menundukkan Kutaraja (Kuto Bedah) di  sekitar tempuran Brantas, Bango dan Amprong sebagai pusat pemerintahan Adipati Malang berama Ranggo Tohjiwo, melainkan juga menundukkan Sengguruh yang berlokasi di sekitar tempuran Brantas dan Metro. Semenjak itu Sengguruh masuk ke dalam wilayah kekuasaan Mataram. Ada perosalan yang butuh pemecahan, yakni adanya Ki Ageng Sengguruh yang dimakamkan di tepi aliran Brantas di Rejotangan. Bagaimanakah relasi historisnya dengan Sengguruh di Malang Selatan? Sayang informasi yang didapatkan hanya bersifat spekulatif, yakni seorang tokoh asal Sengguruh, yang karena suatu sebab eksodus ke daerah Blitar.
Data arkeologi Masa Perkembangan Islam di Sengguruh dan sekitarnya berupa ma-kam Mbah Rekso beserta cungkup yang menaunginya. Belum jelas jati diri Mbah Rekso. Menilik unsur namanya, yakni ’rekso’, tentulah bukan nama diri, melainkan nama sebutan, terkait perannya sebagai pelindung atau pemimpin (sing ngrekso) masyarakat Sengguruh masa lalu, yang boleh jadi di Masa Kasultanan Mataram. Juru piara makam menuturkan adanya tinggalan berupa busana, senjata keramat dan atribut dari Masa Kasultanan terkait dengan Mbah Rekso. Pada masa lebih kemudian, yakni Masa Hindia-Belanda, Sengguruh adalah salah sebuah diantara delapan distrik di Regent (Kabupaten) Malang, yang meliputi Kecamatan Kepanjen, Kalipare, Kromengan, Sumber Pucung dan Pakisaji. Penempatan pusat distrik di Sengguruh menjadi permbukti bahwa sebagai eks pusat pemerintahan kerajaan dan pusat peradaban lintas masa, secara sosio-kultural Sengguruh tetap diposisikan penting, se-tidaknya hingga abad ke-19. Sengguruh kini hanya ’desa biasa’, yang jika dipandang penting, lantaran adanya bendungan terhulu di aliran Brantas, yang dinamai ’Bendungan Sengguruh’.(*)

(dikutip dari http://www.malang-post.com)

SUMBERSARI OKE