Sejarah Alun-alun Tugu Malang

Sejarah Alun-alun Tugu Malang

Alun-alun Tugu Malang yang saat ini menjadi salah satu landmark kota apel itu dulunya bernama Alun-alun Bunder. Disebut demikian karena memang bentuknya yang melingkar. Bentuk alun-alun ini dulunya bisa dibilang lebih sederhana dari penampakan alun-alun yang sekarang.

Dikutip dari Media Center Kendedes, taman cikal bakal alun-alun Tugu dibangun pada masa kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Awalnya, taman ini diberi nama JP Coen Plein, sebagai bentuk penghormatan kepada Gubernur Jenderal Jaan Pieterzoen Coen, yang juga dikenal sebagai pendiri Batavia (Jakarta). Jalan-jalan di sekitar alun-alun tersebut juga diberi nama dengan nama-nama Gubernur Jenderal yang pernah memerintah Hindia Belanda.

Jaan Pieterzoen Coen sendiri adalah Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia pada kurun waktu 21 Mei 1619-31 Januari 1623 dan 30 September 1627-21 September 1629. Tujuan dibangunnya taman ini untuk pelengkap halaman gedung Kegubernuran Hindia-Belanda.

Pada waktu itu, model taman ini bisa dibilang masih sangat sederhana. Area melingkar ini berupa taman terbuka tanpa ada tugu dan tanpa memiliki pagar di tepiannya. Belum ada pula tugu dan air mancur di tengahnya seperti saat ini.

Taman ini menjadi saksi perkembangan Kota Malang sejak dikuasai kaum Kolonial Belanda. Termasuk ketika status Malang berubah menjadi Kota Madya di tahun 1914. Begitu pula saat dibangunnya gedung Balai Kota pada tahun 1930-an di sisi sebelah selatan taman. Pembangunan gedung pusat pemerintahan Kota Malang itu menjadi bagian dari rencana perluasan kota atau disebut Bouwplan.

Setahun setelah kemerdekaan, yakni pada 17 Agustus 1946, ada inisiatif untuk mendirikan tugu di tengah Taman Jaan Pieterzoen Coen (Alun-alun Bunder). Pada saat itu pun batu pertama pembangunan Monumen Tugu ini diletakkan. Monumen ini ditandangani oleh Soekarno dan A.G. Suroto.

Kemudian, setahun setelah kemerdekaan Indonesia hasil KMB di Den Haag tepatnya 17 Agustus 1950, masyarakat Malang mendesak untuk merubah struktur pemerintahan daerahnya dengan menjadikan orang Indonesia sebagai pimpinannya.

Monumen Tugu yang kala itu pembangunannya masih mencapai 95 persen sempat dihancurkan oleh Belanda dalam Agresi Militer I pada tahun 1947. Alasan Belanda menghancurkan Monumen Tugu adalah sebagai bentuk kekesalan mereka atas kegigihan arek-arek Malang dalam mempertahankan wilayahnya dari agresi tersebut.

Pada tahun 1953, Monumen Tugu yang runtuh akhirnya dibangun kembali oleh Pemerintah Kota Malang. Monumen ini kemudian diresmikan lagi oleh Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, Ir. Soekarno.

Alun-alun Tugu dibuat dengan memperhatikan beberapa hal. Monumen Tugu yang berada di tengah melambangkan pusat untuk kelima penjuru arah. Selain arah utama yang menuju ke Gedung Balai Kota, keempat arah lainnya mewakili jalan raya yang bermuara di alun-alun ini.

Monumen Tugu juga memiliki arti tersendiri. Mulai dari puncak monumen yang berbentuk bambu tajam yang melambangkan bambu runcing sebagai senjata yang digunakan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah. Ada juga rantai yang menggambarkan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan oleh penjajah.

Makna lainnya terdapat pada bintang yang mempunyai 17 pondasi dan 8 tingkat, serta tangga yang berbentuk 4 dan 5 sudut. Kombinasi angka ini melambangkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sementara itu, bunga teratai yang berwarna merah dan putih yang berada di kolam sekeliling Tugu melambangkan keberanian dan kesucian, sesuai dengan warna bendera Indonesia.

Kini, Alun-alun Tugu menjelma menjadi sebuah taman cantik dengan hiasan bunga dan trembesi yang menjadi ikon Kota Malang. Pagar kokoh pun sekarang mengelilingi alun-alun yang juga menjadi destinasi wisata bagi keluarga Anda.

>> BACA JUGA SEJARAH BALAIKOTA MALANG<<

SUMBERSARI OKE