Empon-empon dan Jamu: Ramuan Tradisional Khas Indonesia

Empon-empon dan Jamu: Ramuan Tradisional Khas Indonesia

rempah1

 

Empon-empon adalah sekumpulan akar tanaman yang menjadi rempah dan berperan penting dalam perawatan kesehatan. Termasuk dalam empon-empon meliputi jahe, kunyit, lengkuas, temu lawak, dan beberapa lainnya. Tanaman ini amat identik dengan Nusantara, dan semakin diakui nilai dan khasiat kesehatannya terutama setelah masyarakat modern semakin melihat cara hidup sehat sebagai bagian dari peradaban.

Dalam pengolahan, empon-empon atau akar tanaman ini sering dipadu dengan bahan-bahan dari tanaman lain yang menghasilkan ramuan kesehatan. Pengolahan dan hasil inilah yang dikenal sebagai jamu atau jejamuan. Jamu dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lalu. Resepnya diwariskan dari generasi ke generasi dan berkembang seiring waktu. Sampai sekarang—meskipun pemakaian obat-obat modern Barat begitu menonjol—jamu tetap populer baik di kalangan penduduk pedesaan maupun kaum urban di kota-kota besar. Hasil riset kesehatan dasar menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia menggunakan jamu.

Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, yaitu berbagai tanaman obat. Bagian dari tanaman obat yang digunakan untuk ramuan jamu adalah rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit batang, bunga, dan buah. Sampai saat ini, kita masih sering melihat penjual jamu gendong menjajakan jamu dari pintu ke pintu. Sementara itu, telah banyak perusahaan besar yang memproduksi jamu secara massal. Jamu pabrikan ini dijual dalam bentuk bubuk, tablet, kapsul, dan cairan.

Catatan pertama mengenai penggunaan jamu tertera pada relief di Candi Borobudur, dibuat pada abad 8 Masehi. Di sana terdapat relief pohon kalpataru yang merupakan pohon mitologis yang menyimbolkan kehidupan abadi. Di bawah pohon tersebut terdapat relief orang-orang sedang meracik berbagai bahan untuk membuat jamu.

Jamu kemudian berkembang lebih jauh di keraton Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Istilah “djamoe” sendiri dimulai sejak abad 15–16 M, seperti tertulis dalam primbon di Kartasura. Uraian jamu secara lengkap terdapat di Serat Centhini yang digubah oleh tiga pujangga keraton Surakarta pada 1810–1823. Uraian pada Serat Centhini ini merupakan catatan terbaik mengenai praktik pengobatan orang Jawa zaman dulu.

Pada 1850, R. Atmasupana II menulis sekitar 1.734 ramuan jamu. Istilah “djamoe” merupakan singkatan dari “djampi” yang berarti doa atau obat dan “oesodo” (husada) yang bermakna kesehatan. Dengan kata lain, djamoe berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan.

Alam Indonesia merupakan sumber yang melimpah bagi bahan-bahan untuk ramuan jamu. Jamu digunakan oleh bangsa Indonesia, baik untuk menjaga kesehatan di dalam tubuh maupun merawat kecantikan. Tilaar membagi penggunaan jamu ke dalam 5 kategori, yaitu sebagai obat, perawatan kesehatan, perawatan kecantikan, tonik dan minuman, dan penguat daya tahan tubuh.

Namun, jamu bukan hanya berfungsi untuk mengobati penyakit. Jamu juga berfungsi untuk menjaga kesehatan atau meningkatkan daya tahan tubuh. Jamu bekerja dengan mendorong tubuh untuk membuat antibodinya sendiri. Oleh karena itu, jamu juga berperan pada upaya pencegahan penyakit. Itu sebabnya, berbeda dengan obat-obatan modern yang diminum hanya pada saat sakit, jamu juga diminum pada saat sehat. Sifat jamu seperti ini mencerminkan pola pikir bangsa Indonesia yang menekankan bahwa menjaga kesehatan tubuh dan mencegah datangnya penyakit lebih penting daripada mengobatinya ketika penyakit sudah datang.

(Sumber :http://1001indonesia.net/empon-empon-dan-jamu/)

SUMBERSARI OKE