DIRGAHAYU PROPINSI JATIM KE-70

11229550_952198404847458_5564241542801161994_n

 

SEJARAH SINGKAT HARI JADI PROVINSI JAWA TIMUR

 

             Dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dari paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat sentralistis menjadi paradigma pemerintahan daerah yang bersifat desentralistis. Paradigma pemerintahan daerah yang bersifat desentralistis tersebut memberikan kewewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengeksplorasi, mengelola dan mengembangkan potensi daerah, guna peningkatan kesejahteraan warganya sehingga kemandirian Pemerintah Daerah merupakan suatu keharusan.

             Guna mencapai kemajuan dan peningkatan kesejahteraan tersebut, diperlukan partisipasi aktif dengan menggalang solidaritas warga daerah agar merasa ikut handarbeni, perasaan ikut membangun, ikut menikmati hasilnya, dan akhirnya memiliki kebanggaan dan kesetiaan kepada daerahnya. Salah satu bentuk penggalangan solidaritas yang dimaksud adalah adanya identitas daerah, antara lain dalam bentuk hari jadi pemerintahannya.

             Berbekal dari idealisme untuk mengembangkan Jawa Timur dan pengalaman penggalian hari jadi berbagai pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota  seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi   Sulawesi Selatan, Surabaya, Nganjuk, Blitar, Tuban dan Sumenep, ternyata  hari jadi suatu Pemerintah Daerah menjadi sebuah tonggak, menjadi suatu tetenger simbolik dimulainya sebuah pemerintahan di suatu daerah. Peristiwa bersejarah itu patut diperingati, sebagai refleksi terwujudnya idealisme, harapan-harapan, keselamatan, kesuksesan dan perjuangan tanpa henti guna meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya. Peringatan hari jadi suatu daerah dapat dianalogikan dengan perayaan hari kelahiran seseorang, dihelat dengan iringan segala doa dan harapan-harapan demi kebahagiaan yang bersangkutan di masa mendatang.

             Dalam rangka melengkapi identitas keberadaannya, Provinsi Jawa Timur yang berposisi sangat strategis, dirasa perlu menemukan hari jadi atau hari ”kelahirannya”. Hal itu berarti menemukan suatu tonggak waktu sebagai titik mula dimulainya pemerintahan sebuah Provinsi yang telah mengalami perjalanan panjang hingga menemukan bentuk pemerintahan dengan wilayah seperti yang dijumpai sekarang ini. Adapun persoalan-persoalan yang menjadi fokus penelitian Hari Jadi Provinsi Jawa Timur sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah proses terbentuknya wilayah Jawa Timur hingga menjadi wilayah yang berstatus Pemerintahan Provinsi?
  2. Apakah wilayah dan struktur Pemerintahan Provinsi Jawa Timur baru muncul pada zaman Hindia Belanda atau telah ada pada zaman sebelumnya? Bila struktur itu telah ada, bagaimana perkembangannya?
  3. Kapankah terbentuknya wilayah Provinsi Jawa Timur dan pemerintahannya?

              Dalam perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur pemerintahan dan kewilayahan Jawa Timur ternyata memiliki perjalanan sangat panjang. Dari sumber-sumber epigrafis dalam bentuk batu bertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui bahwa sejak abad VIII, tepatnya Tahun 760 di Jawa Timur telah muncul suatu satuan pemerintahan; Kerajaan Kanjuruhan di Malang, dengan status yang sampai kini masih diperdebatkan.

             Pada abad X, Jawa Timur menapaki fase baru. Jawa Timur yang semula merupakan wilayah pinggiran dari Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah, kemudian mendapatkan momentum sebagai pusat kekuasaan berbagai kerajaan, seperti Medang (937-1017), Kahuripan (1019-1049), Daha-Janggala (1080-1222), Singasari (1222-1292) dan Majapahit (1293-1527). Dalam hal ini, Pu Shendok (929-947) adalah tokoh paling berjasa yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Jawa Timur. Struktur pemerintahannya secara hirakhis terdiri dari Pemerintah Pusat (Kraton), Watek (Daerah) dan Wanua (Desa). Struktur ini terus bertahan sampai abad XIII zaman Singasari.

             Pada abad XIII terjadi perkembangan baru dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia di Jawa Timur, ditandai dengan munculnya sebuah struktur baru dalam pemerintahan, yaitu Nagara (Provinsi). Berdasarkan Prasasti Mulamalurung (1255) dari masa Wisnu Wardhana yang juga bergelar Sminingrat menyatakan bahwa struktur pemerintahan Singasari dari Pusat (Kraton), Nagara (Provinsi), Watek (Kabupaten) dan Wanua (Desa).

                   Pada masa Kerajaan Majapahit, susunan itu mendapatkan berbagai penyempurnaan, terdiri dari Bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wisaya (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi) dan paling bawah Kabuyutan (Dusun/Rama).

              Anehnya struktur kenegaraan Majapahit (1294-1527) justru berkembang secara ketat pada masa Mataram (1582-1755). Wilayah Mataram dibagi secara konsentris terdiri dari Kuthagara/Nagara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi Luar), Kabupaten dan Desa. Secara etimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam muncul dengan nama Bang Wetan, dengan wilayah meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanagara Wetan  (pedalaman Jawa Timur.

             Selanjutnya, setelah huru-hara Cina di Kartasura (1743), seluruh wilayah pesisir utara Jawa dan seluruh Pulau Madura jatuh ke tangan Kompeni, sedang daerah Mataram tinggal wilayah pedalaman Jawa (Mancanagara Wetan-Mancanagara Kulon). Dengan berakhirnya Perang Dipanegara (1830), seluruh Jawa Timur (Bang Wetan) dapat dikuasai Pemerintah Hindia Belanda. Dari Tahun 1830-1928/1929, Belanda menjalankan pemerintahan dengan hubungan langsung Pemerintah Pusat VOC di Batavia dengan para Bupati yang berada di wilayah kekuasaannya.

             Pemerintah Hindia Belanda yang sejak awal abad XX menerapkan politik imperialisme modern melakukan intesifikasi pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Provinsi Jawa Timur (Provincient van Oost Java) pada Tahun 1929, dengan struktur pemerintahan, wilayah dan birokrasi tidak jauh berbeda seperti yang ada sekarang. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) seperti daerah lain, Jawa Timur diletakkan di bawah pendudukan militer Jepang.

                   Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia mulai menata kehidupan kenegaraan. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pada Tanggal 19 Agustus 1945 oleh PPKI dibentuklah Provinsi dan penentuan para Gubernurnya. Untuk pertama kalinya, R.M.T. Soerjo yang kala itu menjabat Residen Bojonegoro ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur yang pertama. R.M.T. Soerjo yang dilantik Tanggal 5 September 1945, sampai Tanggal 11 Oktober 1945 harus menyelesaikan tugas-tugasnya di Bojonegoro, dan baru pada 12 oktober 1945 boyong ke Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur yang menandai mulai berputarnya mekanisme Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang menetapkan Tanggal 12 Oktober sebagai Hari Jadi Jawa Timur dan akan diperingati secara resmi setiap tahun, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Timur.